top of page

Indonesia Raja Yogyakarta : Berproses di Yogyakarta



Yuk Nonton!!! kembali mengadakan pemutaran film Program Indonesia Raja 2015 pada Kamis (8/10) di Greenhost Hotel, Yogyakarta. Bertepatan dengan bulan ulang tahun Yogyakarta, yang ditayangkan adalah Program Indonesia Raja – Yogyakarta, yang terdiri dari empat film pendek, yaitu Manuk (Ghalif Putra S.), Gula-gula Usia (Ninndi Raras), Friends (Yandy Laurens), Mak Cepluk (Wahyu Agung P.), dan Vampire (Fitro Dizianto). Kali ini Yuk Nonton!!! didatangi 34 penonton dari beberapa penjuru.


Secara khusus, pada pemutaran film kali ini Yuk Nonton!!! menghadirkan beberapa filmmaker program tersebut, yaitu Wahyu Agung (Mak Cepluk), Ghalif (Manuk), dan Fitro (Vampire). Diskusi dilaksanakan dengan Awy sebagai pemantik diskusi.


Diskusi dibuka dengan pertanyaan dari Awy mengenai pengalaman para filmmaker selama berproses di Yogyakarta, terutama terkait dengan film mereka yang termasuk dalam Program Indonesia Raja. Fitro mengungkapkan bahwa sebenarnya film yang ia buat merupakan bagian dari kehidupan sehari-harinya; Kipli, salah satu karakter dalam filmnya, adalah temannya dan warung Cak Iwan sungguh-sungguh ada di daerah Sewon. Bermula pada kegelisahan “Bagaimana kalau ada vampire di sini?”, maka jadilah film Vampire. Selain itu, ia juga mengangkat pembicaraan mengenai film horror populer, serta bagaimana klenik dan mitos masih dekat dengan kehidupan masyarakat Jogja.


Wahyu Agung pun mengakui pengaruh Jogja dalam prosesnya berkarya; ia membuat film di Jogja, mengenal orang film di Jogja, dan lain sebagainya. Dalam filmnya, ia mengungkapkan bahwa Jogja kental akan tradisi. Sebagai contoh, anak-anak yang tinggal di desa bermain permainan tradisional. Kemudian, ia juga tidak memungkiri tingginya penggunaan teknologi di era modern. Oleh karena itu, ia menyelipkan adegan-adegan di mana anak-anak pun menggunakan gadget dan memadukannya dengan permainan tradisional. Semenara itu, Ghalif melihat Jogja sebagai tempat di mana semua kultur menjadi satu, tetapi tidak menghilangkan budaya sendiri, sehingga dari situ ia dapat belajar banyak hal.


Stephanus Novi, salah satu penonton, menyampaikan pendapat secara keseluruhan, yaitu bahwa kompilasi film Indonesia Raja – Yogyakarta berbicara soal generasi; orang tua (kakek-nenek dan suami-istri), anak muda, dan anak-anak.

Dengan penggunaan talent dari generasi yang berbeda tersebut, muncul pula pertanyaan dari penonton lain, Baharrudin, “Bagaimana mengatur talent yang tidak semuran dengan filmmaker dan kru?” Tentu saja hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para filmmaker, karena ada tuntutan gaya komunikasi yang harus menyesuaikan dengan lawan bicara. Wahyu Agung, sutradara film Mak Cepluk yang seluruh talentnya adalah anak-anak menjawab bahwa ia memposisikan diri sebagai anak kecil. Bagaimana kemudian ia dan teman-temannya kemudian menciptakan atmosfer yang menyenangkan di lokasi syuting. Apabila anak-anak sudah tampak lelah, maka ia mengajak mereka membeli makanan. Ia memilih menggunakan anak-anak kampung dan bukannya anak-anak sanggar ataupun teater guna memperoleh ekspresi yang natural dan tidak berlebihan. Casting ia lakukan di perkampungan dekat kampus.


Tidak hanya itu, pertanyaan lain juga ditujukan untuk film Gula-gula Usia, yaitu “Bagaimana seorang perempuan tua tinggal sendiri, padahal di Jogja kan punya tetangga, jadi bisa bantu-bantu?” yang memicu diskusi spekulatif karena sang filmmaker berhalangan hadir. Reza menjawab, secara universal, bisa saja hal tersebut terjadi. Dari segi geografis, masyarakat Jogja memiliki kultur sosialisasi yang berbeda; sebagai contoh mereka yang tinggal di komplek dan desa. Belum lagi apabila dilihat dari segi psikologis tokoh.


Wahyu Agung menambahkan, bisa jadi sang perempuan tua tersebut memiliki kekurangan pendengaran, yang membuatnya merasa minder dalam bergaul, dan hanya tukang reparasi yang dapat memberinya rasa nyaman. Awy juga menambahkan bahwa perbedaan usia dengan masyarakat lingkungan sekitar juga bisa menjadi faktor, sehingga kesulitan untuk mengobrol dengan nyambung. Ghalif menyatakan, “Ketika dia udah nyaman sama satu orang, ya sama orang itu terus.” Sementara itu, Fitro menjelaskan bahwa bisa saja sang filmmaker hanya ingin meng-highlight hubungan nenek dan tukang reparasi. Stephanus Novi mengiyakan hal tersebut dengan mengatakan bahwa film tersebut memuat unsur pribadi yang intim, kalau melibatkan hal sosial (seperti bertemu tetangga, tukang sayur), maka bisa jadi nanti akan ada unsur yang hilang.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page