top of page

Yuk Nonton!!! Gelar Perdana Pemutaran Indonesia Raja 2015


Sederhana yang Luar Biasa, menjadi tema besar pada acara perdana pemutaran film bertajuk Indonesia Raja 2015 pada Rabu (26/8) kemarin. Acara yang digarap oleh Komunitas Film Yuk Nonton! Yogyakarta ini digelar di Greenhost Boutique Hotel Yogyakarta. Dimulai pukul 19:00, acara ini diawali dengan pengenalan secara singkat apa itu Indonesia Raja 2015 oleh moderator. Menurut M Reza Fahriansyah, Modertor sekaligus Programmer Indonesia Raja 2015 untuk Yogyakarta menjelaskan, Indonesia Raja merupakan sebuah kolaborasi regional antar wilayah atau kota di Indonesia secara berkala, satu tahun sekali, dalam bentuk pertukaran film pendek. "Program Indonesia Raja ini adalah inisiasi dari Minikino, sebuah organisasi film yang berasal dari Bali. Minikino inilah yang kemudian memobilisasi pertukaran film pendek antar kota di Indonesia dengan bantuan komunitas-komunitas film yang ada di kota tersebut. Untuk tahun ini, tahun pertama Indonesia Raja bekerja sama dengan tujuh komunitas film yang berada di kota Jakarta, Denpasar, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Semarang dan Purbalingga. Dan pada malam perdana ini, akan ditayangkan film-film dari Jakarta kemudian dilanjutkan film-film dari kota lain di bulan berikutnya hingga Desember 2015".

Selanjutnya selaku General Manager Greenhost Boutique Hotel Yogyakarta, Arbiter Gerhard M Sarumaha mendukung penuh penyelenggaraan acara ini. "Kami sangat menyambut baik kegiatan-kegiatan kreatif anak muda di Yogyakarta. Apalagi yang saya lihat di Yogyakarta sendiri memang banyak komunitas-komunitas yang fokus terhadap perfilman. Makanya, sejak awal pihak Yuk Nonton! menemui saya untuk membicarakan kegiatan ini, kami pihak Greenhost langsung menyetujui. Dan melalui kegiatan ini pula kami berharap Greenhost Boutique Hotel bisa berkolaborasi dengan komunitas-komunitas kreatif lainnya dan menjadi ruang terbuka bagi anak-anak muda untuk menampilkan krativitasnya," ujarnya.



34 penonton yang hadir disuguhkan empat film pendek dari Jakarta yang telah tergabung dalam program “sederhana yang luar biasa” dari Jakarta. Empat film tersebut yaitu Tiny Jakarta (Albertus Wida), Iblis Jalanan (Salman Farizi), Masa Sih? (Chairun Nissa) dan Lemantun (Wregas Bhanuteja). Keempat film ini telah melewati proses kurasi oleh Siti Anisah dari komunitas Sinema Kopi Hitam. Tidak hanya menonton film, penonton juga diajak untuk berdiskusi spekulatif setelah keempat film diputar. Antusiasme penonton pun cukup tinggi dalam memberikan apresiasi berupa komentar terhadap film-film tersebut. Diantara diskusi ada yang berpendapat bahwa "Tiny Jakarta" berisi footage-footage yang sederhana mencoba menggambarkan Jakarta dari pagi hingga malam. Melalui film ini, sang filmmaker memandang Jakarta dari sudut pandang sempit, yang sebenarnya Jakarta adalah kota yang sangat besar.

Kemudian dalam Film "Masa Sih?" dalam diskusi spekulasi ini banyak membahas mengenai stereotype; mengenai laki-laki dan perempuan. Secara umum di Indonesia, gender equality masih menuai banyak kritik di berbagai aspek. Dengan mengambil setting tempat ruang kelas; di mana proses belajar terjadi, sang sutradara menjelaskan dengan cara yang sederhana bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan secara biologis, tetapi memiliki kesamaan hak dan kewajiban di lingkungan sosial. Tidak hanya itu, ada pula stereotype mengenai perempuan behijab, yang dianggap "alim" dan tidak memiliki pengetahuan sex. Banyak hal dalam film ini yang mematahkan stereotype-stereotype tersebut. Dengan kata lain, film ini juga dianggap mencoba mendobrak konstruksi sosial. Selain itu, film ini bisa jadi juga merupakan suatu kritik terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang tak jarang masih menganggap bahwa sex adalah hal yang tabu untuk dibicarakan, sehingga remaja tidak mendapatkan cukup pendidikan sex.

Lalu "Lemantun" mengangkat budaya mengenai anak-anak yang telah berkeluarga dan tidak lagi tinggal bersama ibunya. Kemudian sang ibu memberikan masing-masing anaknya sebuah lemari sebagai warisan. Pak Arbiter Gehard M Sarumaha selaku GM dari GreenHost Hotel berpendapat bahwa Lemari digambarkan sebagai alat untuk menyimpan sesuatu; dalam film ini, kesederhanaan ditampilkan dalam keberadaan lemari. Bagaimana lemari dipandang, bergantung pada bagaimana setiap individu memaknainya. Tri, salah seorang anak yang masih tinggal bersama ibunya, digambarkan sebagai sosok yang tidak ambisius. Sementara yang lain, yang tidak tinggal bersama ibunya, melihat lemari sebagai pajangan, bahkan komoditi.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page