Berdiskusi Setelah Penayangan Program Indonesia Raja Semarang
- Yuk Nonton!!!
- Oct 4, 2015
- 2 min read

Pada tanggal 3 Oktober 2015 Yuk Nonton!!! kembali memutar program Indonesia Raja 2015. Kali ini Program Indonesia Raja Semarang yang ditayangkan setelah sebelumnya program Indonesia Raja Jakarta dan Medan yang telah di tayangkan. Tidak kalah seru, malam itu Yuk Nonton!!! disabangi 48 penonton, dan salah satu penontonnya adalah programmer dari Ruang Film Semarang yaitu Yulia Hesti.
Setelah penayangan film seperti biasa Yuk Nonton!!! mengadakan diskuis. Diskusi diawali dengan programmer semarang yaitu yulia hesti mejelaskan tentang programnya yang menjelaskan bahwa programnya yang di buat untuk melihat sendiri takaran filmmaker semarang berdasarkan jenjang generasi, mulai dari pelajar SMA, mahasiswa, komunitas sampai ke professional, dengan tujuan agar setiap generasi bisa saling melihat dan membantu apabila ada kekurangan atau kelebihan dalam filmnya di daerah semarang.
Kemudian pemantik diskusi yaitu awy bertanya tentang kondisi film di semarang tentang bagaimana siswa siswa SMA bisa membuat film? Apakah karna ada komunitas yang masuk ke pelajar SMA untuk mengenalkan film atau bagaimana? Kemudian menurut pengamatan Hesti. Sejauh ini belum ada komunitas yang melakukan pendekatan ke SMA secara langsung untuk mengenalkan film ke pelajar SMA dan mengenai pelajar SMA membuat film itu karena memang terkadang ada beberapa SMA dan SMK yang memberikan tugasnya itu membuat sebuah film.
Pada pemutaran kali ini juga salah satu crew di film potehi hadir yaitu M Nafiz yang menjadi kameraman di film “Potehi”. Ada pertanyaan dari salah satu penonton mengenai tantangan dalam pembuatan film “Potehi”? Kemudian Nafiz menjawab bahwa tantanganya cukup banyak pertama mengenai narasumber yang sudah sepuh kemudian juga tentang timnya yang banyak tetapi tidak semuanya berkerja dengan baik. Tetapi Nafiz menjelaskan bahwa proses itu yang membuat dirinya merasa senang dan enjoy ketika membuat film “Potehi” bersama teman-teman SMAnya.

Kemudian diskusi di arahkan kepada salah satu konteks dari film yang di buat oleh pelajar SMA yaitu film “Medsos”. Di film ini pemeran menggunakan bahasa “gw lo” yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang benar siswa SMA semarang menggunakan bahasa “gw lo” karena sudah terpengaruh jakartasentris? Kemudian salah satu orang yang berasal dari semarang menjawab bahwa remaja remaja yang menggunakan bahasa “gw lo” adalah remaja yang bisa dikatakan gaul dan popular. Tapi berbeda juga dengan sekolah Nafiz dulu yang tetap menggunakan bahasa jawa dalam berkomunikasi sehari-hari.
Kemudian setelah berdiskusi mengenai konteks tentang film yang di buat oleh pelajar SMA, kembali ada yang bertanya mengenai sebuah film dari semarang. Karna kebetulan perwakilan dari film “Adagio” tidak ada yang datang kemudian diskusi ini menjadi spekulasi dan memunculkan beberapa pertanyaan kepada filmmaker, yaitu Mengapa pemerannya mengalami kebutaan? Dan juga mengapa bunyi suara radio dalam film Adagio tidak menggunakan bahasa Belanda serta suara dalam radio tersebut terdengar sangat jernih? Apabila melihat setting waktu yang digunakan dalam film adagio adalah zaman penjajahan dari Belanda yang beralih ke Jepang.
Dari semua film dalam Program Indonesia Raja Semarang, banyak penonton yang sepakat bahwa film “Kamapertoire” adalah film yang paling bisa diterima diantara film yang lain dari segi teknis, dan juga struktur cerita.
Comments